Warsanusantara.com – Sepasang suami istri buruh kuli bangunan warga Kejambon, Desa Dapurkejambon, Kecamatan Jombang dipaksa menelan pil pahit, pasalnya PLN dari Unit Layanan pelanggan Jombang memutus listrik rumahnya secara sepihak pada Agustus 2025 lalu. Tidak cukup memutus aliran listrik, PLN ULP jombang juga memberikan sanksi denda senilai Rp.6,9 Juta.
Nur Hayati dituduh telah melakukan pelanggaran berupa pencurian listri sejak 2017. Atas tuduhan itu ia merasa tidak terima dan keberatan. Hal senada juga disampaikan Wasis suami Nur hayati yang sehari-hari bekerja sebagai kuli bangunan juga merasa tidak terima atas kebijakan PLN yang dianggap arogan dan main cabut listrik seenaknya.
Wasis dan istri tidak pernah merasa melakukan pelanggaran Pencurian yang dituduhkan PLN. Selama ini dirinya selalu membayar tagihan listrik secara rutin sebesar Rp. 150 ribu tiap bulan, sehingga wasis merasa tuduhan itu tidak benar.
Menurut Nur Hayati, saat melakukan pengecekan dirumahnya Petugas PLN katanya menemukan adanya lubang di bagian bawah penutup kWh meter dan itu dianggap sebagai pelanggaran golongan 2.
“Saya tidak tahu siapa yang bikin lubang itu. Saya ini orang awam. tiba-tiba saja petugas PLN datang, langsung memutus aliran listrik rumah saya,” ujarnya sedih.
Tiga jam setelah pemutusan listrik, Nur Hayati diminta datang ke kantor PLN Jombang. Di sana, ia diberi tahu bahwa dirinya harus membayar denda nyaris Rp 7 juta karena dituduh mencuri listrik sejak 2017.
“Saya kaget, dituduh mencuri listrik sejak 2017. Padahal, saya selama ini selalu bayar tagihan rutin tiap bulan, sekitar Rp 150 ribu. Tidak pernah ada pemberitahuan apa pun dari PLN,” ungkapnya.
Karena tidak mampu membayar sekaligus, Nur Hayati akhirnya diminta membayar uang muka (DP) sebesar Rp 2.227.685 dan sisanya dicicil masuk ke tagihan listrik bulanan. Untuk memenuhi biaya DP tersebut, ia terpaksa berutang.
“Saya keberatan, mas. Suami saya hanya seorang kuli dan harus menghidupi banyak orang, termasuk anak yatim. Kadang-kadang untuk makan saja susah. Saya merasa ini tidak adil,” tutur Nur Hayati sambil terus menangis.
Ia berharap PLN memberikan keringanan atau membebaskan dirinya dari denda yang dianggap tidak berdasar tersebut, apalagi ia tidak merasa melakukan pencurian.
“Saya tidak mencuri. Buat apa juga saya mencuri? Harusnya kalau ada dugaan pelanggaran, diberi kesempatan membuktikan. Ini tidak ada proses itu, langsung diputus,” ujarnya dengan nada kecewa.
Nur Hayati juga menambahkan bahwa pasca-insiden tersebut, ibunya sempat kepikiran berat hingga akhirnya meninggal dunia, meski ia tidak secara langsung mengaitkan hal itu dengan kejadian ini.
Sementara itu manager PLN ULP Jombang, Dwi Wahyu Cahyo Utomo, menegaskan bahwa seluruh proses pemeriksaan dan penanganan terhadap sambungan listrik di rumah Nur Hayati telah dilakukan sesuai dengan prosedur yang berlaku.
“Pada dasarnya kami sudah sesuai prosedur yang ada dan ini juga sudah ditandatangani oleh pelanggan yang bersangkutan. Artinya sudah ada kesepakatan, di mana pelanggan membayar DP dan menyicil sisanya,” jelasnya
Dirinya berdalih bahwa pemutusan itu dilakukan demi menjaga keselamatan pelanggan dan mencegah potensi kecelakaan listrik yang bisa membahayakan.
“Tindakan pengamanan dilakukan untuk mencegah terjadinya kecelakaan umum yang dapat membahayakan masyarakat. PLN ULP Jombang telah berkoordinasi langsung dengan pelanggan, dan hasil pemeriksaan serta tindak lanjutnya telah disampaikan serta dipahami oleh pelanggan,” ujar Dwi Wahyu dalam keterangan tertulis, Jumat (10/10/2025).
Pihaknya juga menghimbau kepada masyarakat, agar warga segera melapor ke kantor PLN terdekat, melalui Contact Center 123 atau aplikasi PLN Mobile, apabila menemui potensi bahaya atau hal mencurigakan terkait sambungan listrik.
Sebelumnya juga sempat viral, peristiwa yang sama menimpa nenek Masruroh penjual gorengan warga Desa Kwaron, Kecamatan Diwek, Jombang. listrik rumahnya tiba-tiba diputus PLN karena dituduh telah melakukan pelanggaran ‘pencurian’ aliran listri sejak 2022.
Nenek Masruroh dikenai denda Rp. 12,7 juta dari denda awal sebesar 19 juta. Tagihan itu atas nama ayahnya yang sudah meninggal dunia sejak tahun 1992. Persoalan akhirnya selesai setelah denda masruroh dibayar lunas melalui dana CSR dari PLN dan bantuan sumbangan dari pedagang kaki lima. Kini PLN memasang jaringan listrik baru untuk rumah Masruroh atas nama dirinya sendiri dengan daya 900 VA. (*)