Warsanusantara.com – Kisah inspiratif datang dari bocah ruarbiasa namanya Yasmin Najma Falihahz, 9 tahun, seorang bocah tunanetra asal Desa Sepanjang, Kecamatan Glenmore, Banyuwangi. Dia berhasil membuktikan bahwa keterbatasan penglihatannya tidak menjadi penghalang untuk mengahafal kalam Ilahi dan cahaya Alquran mampu menerangi jalan hidupnya.
Yasmin harus kehilangan penglihatan sejak usia 2,5 tahun akibat penyakit kanker mata. Semangatnya menghafal Al Qur’an patut membuat kita merasa iri. Yasmin telah menginspirasi anak-anak negeri untuk semangat pantang menyerah menjadi penghafal Al Qur’an. Ia berhasil lolos seleksi kompetisi Hafidz Indonesia sebagai salah satu dari 24 peserta terbaik.
Kompetisi Hafidz Indonesia adalah salah satu acara unggulan distasiun TV swasta, sebagai ajang pencarian bakat anak-anak penghafal Al-Qur’an di Indonesia. Diajang kompetisi Hafidz 2025 menampilan sosok yasmin sebagai salah satu sosok inspiratif penghafal Al Qur’an yang patut menjadi teladan baik bagi anak-anak indonesia.
Sejak kecil, Yasmin tumbuh dalam lingkungan yang kental dengan Alquran. Kedua orang tuanya, Moh. Nur Khotib dan Nina Nur Aminah, merupakan pengasuh santri di Pondok Pesantren Darul Falah, Desa Sepanjang. Dua kakak laki-lakinya bahkan telah lebih dulu menyelesaikan hafalan 30 juz, menjadikannya sebagai inspirasi terbesar bagi Yasmin
Yasmin mulai menghafal Alquran sejak usia 4 tahun dengan metode berbeda dari anak-anak lainnya. Karena tidak bisa membaca mushaf, ia mengandalkan pendengaran. Setiap hari, umiknya memperdengarkan rekaman bacaan ayat suci, lalu Yasmin mendengarkan dengan saksama dan mengulanginya. Kemampuannya dalam menangkap bacaan begitu luar biasa.
“Dia cepat sekali menghafal. Jika ada pengucapan huruf yang kurang pas atau panjang pendek yang keliru, umiknya yang membenarkan,” ujar Luluk Khodijah, tante sekaligus ibu angkat Yasmin, Minggu (2/3).
Menurut Luluk, tekad Yasmin semakin kuat setelah melihat kakaknya yang juga pernah mengalami kanker mata namun mampu menghafal 30 juz. Kakak pertamanya saat ini mondok di Yaman, sedangkan kakak keduanya telah menyelesaikan hafalan saat masih duduk di kelas 5 SD.
“Dari kecil memang Yasmin ingin menjadi penghafal Alquran. Ia ingin membuktikan bahwa kehilangan penglihatan bukanlah penghalang untuk tetap berprestasi,” tutur Luluk.
Kini, perjalanan Yasmin semakin membanggakan. Ia berhasil melewati seleksi ribuan peserta Hafidz Indonesia dan masuk dalam jajaran finalis. Saat ini, Yasmin tengah berada di Jakarta, didampingi oleh umiknya, untuk mengikuti kompetisi tersebut.
Ketabahan dan semangat Yasmin dalam menghafal Alquran menjadi inspirasi bagi banyak orang. Tanpa melihat mushaf, ia menghafal ayat demi ayat hanya dengan ingatan dan pendengarannya yang tajam. Setiap lantunan ayat dari mulutnya selalu menyentuh hati siapa pun yang mendengar.
Lebih dari sekadar hafalan, perjalanan Yasmin adalah kisah tentang keteguhan hati dan keajaiban iman. Dalam keterbatasannya, ia tetap bersinar, membuktikan bahwa cinta kepada Alquran mampu menjadi cahaya bagi siapa saja, bahkan mereka yang tak dapat melihat dunia. (*)